Selasa, 11 Desember 2012

Hello~

Hi! It's been a year. Jarang, jarang, jarang banget update blog ini. Kemaren sempat kehilangan alamat e-mail dan passwordnya. jadi berjuang keras untuk nyarinya lagi. untung aja dapat.

well, apa kabar nih? ntar lebih disempetin update deh. secara sibuk mulu, udah kelas tiga u,u

well, welcome back to my blog ya:)
cheers:D

Jumat, 29 April 2011

Shine After the Rain #1

Ceritanya masih yang kemaren, tapi ada perubahan judul.


Masih ada yang mau baca?? I do Thanks :)

"Ketika Harapan dihancurkan Ketakutan"

~~~

Aku tetap saja aku
Ketika mentari bersinar terang
Aku menyimpan harap mendalam
Tapi
Seketika awan menghalang,
menjatuhkan rintik hujan
Asa ku seketika juga ambruk
Oleh suatu ketidakpastian
Oleh suatu ....
Ketakutan


“To : Miss Curhat
Cc :
Subject : help me!
Dear Miss Curhat …
Help me please! Aku lagi ada masalah nih, sama ibu-ayahku. Mereka over protective banget. Aku jadi pengen berontak deh. Tapi bukannya itu sama dengan melawan orang tua yaa? Tapinya lagi, aku ngga tahan sama sikap mereka. Ada solusi ngga?
Thanks yaa.
Warmest, Dian”

“To : Dian Permata
Cc :
Subject : cheers up !
Dear Dian yang manis …
Ngga perlu berontak. Perlunya itu positive thinking. Orang tua kamu gitu karena dia sayang ama kamu. Kalo ngga sayang, kamu pasti dibiarin gitu aja. Kalo menurut kamu itu udah over banget, coba deh sharing baik-baik ama orang tua kamu, gimana yang kamu mau. Jadi, orang tua kamu tau apa yang kamu mau. Berontak itu bukan jalan yang bagus looh. Ayo, be happy teenager!!! Cheers… 
Warmest, Miss Curhat”


Itulah random activity-nya Raissa, atau yang lebih akrab dipanggil Acha. Ditengah padatnya pelajaran kelas dua, dia juga ber’profesi’ sebagai Miss Curhat di dunia maya dan di sekolahnya. Dia cukup lihai dalam urusan per”curhatan”. Kayaknya sih, dia punya kecerdasan intrapersonal gitu.

Walaupun bergelar ‘Miss Curhat’, Acha belum pernah curhat hal-hal yang berat dalam hidupnya. Paling juga curhat bentaran doing. Misalnya “Ih, cowok itu manis yaa.” Abis itu, ya udah. Selesai. Nggak pernah diingat lagi tuh, ama Acha. Kayaknya kalo untuk masalah berat dia curhat ama dirinya sendiri kali yaa? Atau dia ngga punya masalah berat? Masa sih?

* * * * * * * * * * * * * * * * * * *

“Cha, ke kantin yuk?” ajak Shilla. Acha mendongakkan kepalanya, lalu kembali menekuni novel yang tengah dibacanya.

“Aku lagi asik baca novel nih, Chi. Sorry yaa,”jawab Acha. Sahabat Acha yang bernama kecil Chia itu terlihat kecewa. Tapi dia faham, Acha kalau lagi baca novel itu ngga bisa diganggu.

“Ya udah deh. Aku ke kantin yaa,” sahut Shilla. Acha mendongakkan kepalanya dan tersenyum.

“Kalo ketemu ama Cakka, salamin yaa.” Acha mencoba bercanda agar temannya itu tak bertambah kecewa. 
Pipi Shilla seketika langsung merona. Ia tersenyum dan melangkah keluar kelas.

“Cha.” Seseorang menepuk pundak Acha. Acha tersentak dari penghayatannya. Ia langsung menoleh kepada orang yang membuatnya terkejut.

“Ray. Astaghfirullah. Ngagetin ajadeh.” Acha tertawa kecil. “Tumben kemari, ada apa?”

“Aku butuh temen curhat,” ujar Ray jelas, padat, singkat.

“Tumben. Curhat apaan?” Acha mulai tertarik. Ray jarang banget mau terbuka gini. Pasti ada sesuatu nih.

“Cha, ga enak bicara dikelas. Pulang aja ya? Kita ke taman dekat kompleks aja. Bisa kan?” tanya Ray.

“Pulang dulu dong? Bisa kok. Untuk perkembangan temanku yang satu ini, apasih yang engga?” canda Acha. Ray hanya tersenyum.

“Cha, kamu ngga ke kantin?” tanya Ray sambil mengutak-atik BBnya.

“Ngga, kamu sendiri?” tanya Acha tetap pada novelnya.

“Males gitu deh.” Jawaban yang singkat. Mereka lalu sibuk dengan aktivitas masing-masing sampai bel jam pelajaran berikutnya berbunyi. Ray kembali ke kelasnya, sementara Acha menyimpan novelnya.

Pelajaran kimia berlangsung dikelas Acha dan Shilla. Pelajaran dengan berjuta-juta kata asing dan aneh. Bu Rena masih cuap-cuap didepan kelas, berusaha membuat siswa suka dengan pelajaran yang sering membuat sakit kepala ini. Sementara Acha mencatat apa yang bu Rena jelaskan, sedangkan Shilla menggambari buku catatannya dengan graffiti namanya.

Lonceng menggema di lingkungan SMA Kristal, mengembalikan fikiran sebagian besar muridnya yang tidak lagi di sekolah. Begitu juga kelas Acha. Mata mereka kembali segar. Tanpa pamit, mereka berebut keluar kelas.

“Cha, aku anterin pulang yaa.” Ray berdiri didepan pintu kelas Acha, menyandang tasnya yang berwarna hitam.

“Eh, engga deh. Entar ngerepotin kamu lagi. Aku pulang bareng Chia aja,” jawab Acha.

“Eh, kamu pulang ama Ray aja, Cha. Aku pulang sendiri aja. Aku mau nemenin Cakka nyari buku di book store. Kebetulan mobilnya mogok gitu,” jawab Shilla sambil memasukkan alat-alat tulisnya yang berantakan di mejanya.

“Bener nih, aku ngga ngerepotin Ray?” Acha menatap mata Ray.

“Enggak. Ayo, sama mobilku aja,” kata Ray. “Kita pamit ya, Chi. Deluan.”

“Chi, nggak apa nih? Kamu beneran ama Cakka?” Acha merasa nggak enak dengan Shilla.

“Udah, nggak apa kok. Pergi aja. Tuh Cakka. Bentar ya, Cak.” Shilla mendorong Acha.

“Yaudah. Aku deluan yaa,” ujar Acha.

“Deluan ya, bro!” Ray menepuk bahu Cakka sambil berjalan ke arah parkiran.

“Deluan, Cak. Permisi,” kata Acha ketika melewati Cakka.

“Aku nungguin kamu selesai beres-beres ya, abis itu baru sama-sama ke taman,” kata Ray sambil berjalan ke arah mobilnya.

“Beneran kamu mau nungguin aku? Ngerepotin banget akunya.” Acha menatap Ray dengan tatapan bersalah.

“Loh, Cha? Seharusnya aku yang nanya, aku ngerepotin kamu ngga? Udah minta bantuan kamu, bertamu pulang sekolah lagi.” Ray balas menatap Acha dengan tatapan heran.

“Aku ngga usah dipikirin kali, Ray. Nyokap ama bokap pulangnya juga malam banget. Mas Ozy sibuk dengan senat nya. Malah aku seneng kamu datang. Ngeramein suasana rumah.” Acha tersenyum pahit.

“Yasudah. Ayo masuk, Cha.” Ray membuka pintu mobil untuk Acha.


*************************


“Kamu tunggu sini aja, Ray. Aku mau ganti baju sama shalat.” Acha menaiki satu persatu anak tangga, sementara Ray menunggu di ruang tamu.

Seiring berlalunya Acha, Ray melangkah ke arah dapur. Ia mengambil minum untuk dirinya sendiri. Lalu ia berjalan kembali ke ruang tamu. Tapi, langkahnya kemudian terhenti oleh sebuah buku yang tergeletak dibawah lemari buku. Sebuah buku hard cover bersampulkan foto hujan yang diambil dari balik jendela. Foto itu ditempel di cover buku itu.

“Buku siapa nih?” gumam Ray sambil menunduk untuk mengambil buku itu.

“Ray, jadi ‘kan?” Acha muncul dari balik pintu dapur. Ray tersentak, lalu berdiri.

“Jadi. Kamu duluan aja ke mobil aku. Aku mau ngeletakin gelas dulu.” Ray mengancungkan gelas yang dipegangnya. Acha berjalan mendahului Ray.

Ray meletakkan gelas itu di wastafel cuci piring. Ia berjalan kembali ke tempat buku tadi berada, dan mengambilnya. Ia berlari ke ruang tamu, memasukkan buku itu ke dalam tasnya.

“Ray, udah?” Acha muncul dari balik pintu depan.

Ray kaget, kemudian beralasan,”Ini, aku lagi nyari kunci mobil. Ini dia.” Ia mengambil kunci mobilnya diatas meja.

“Ayo.” Ray berjalan ke arah Acha.


*****************************


“Sebenernya kamu tuh mau curhat soal apaan? Kayaknya ngga biasanya deh. Dari jaman SMP aku kenal kamu, sampai sekarang kelas 2 SMA, ngga pernah deh kamu curhat ginian.” Acha buka suara sambil duduk disebuah bangku taman.

“Gue suka sama seorang cewe.” Ray berharap Acha menangkap maksud dari perkataannya.

“Lo suka ama cewe lain? Siapa?” Acha menatap Ray dalam-dalam.

“Kalo gue bilang orangnya ada didepan gue, yang sedang bicara sama gue,” sahut Ray. Dia memegang tangan Acha. “Gue suka ama lo, Cha”

“Ray, lo udah ngungkapin rasa lo itu berapa kali. Gue juga udah bilang kalo gue nggak mau ngehancurin persahabatan cuma untuk cinta sesaat. Lo bisakan, ngertiin gue?” Acha menatap Ray dengan tatapan memohon.

“Cha, cinta kita itu nggak bakal ngerusak persahabatan kita… Persahabatan nggak…”

“Lo bisa aja bilang kayak gitu. Tapi fakta yang bisa lo liat itu banyak. Orang yang dulunya sahabatan, terus pacaran, lalu putus. Persahabatan mereka nggak kembali!” Acha mulai merasa panas. Air matanya mulai menggenang.

“Itu kan kalo mereka putus. Kalo kita nanti? Kita bakalan mempertahankannya. Bukankah sambil menjalankan cinta kita bisa menjadi sahabat juga?” Ray tetap pada pendiriannya.

“Kita nggak pernah tau, apa yang ada didepan kita. Setelah kita berada didepan, kita juga nggak akan dapat kembali ke belakang. Itu hidup, Ray?” Acha masih menahan air matanya agar tidak jatuh.

“Lo juga nggak tahu apa yang ada didepan. Siapa yang tahu kalau nanti kita akan bertahan? Cha, kasih gue alasan yang jelas, dan gue akan berusaha untuk nggak nganggu lo lagi.” Suara Ray sudah tak sekencang yang tadi. Suasana mulai melunak.

“Karena … Karena … Karena gue nggak suka ama lo. Gue nggak cinta ama lo. Gue nggak sayang ama lo.” Acha setengah berteriak. Pertahanan yang sedari tadi dibuatnya hancur sudah. Butiran bening itu kini jatuh dengan lancar di pipinya. Sesegera mungkin ia pergi dari hadapan Ray. Ia memanggil taksi dan pulang kerumah. Ia hanya dapat berharap Ray tak melihat air mata itu jatuh dari matanya.

Ray masih berdiri di taman, shock dengan apa yang barusan terjadi. “Kenapa lo harus membohongi diri lo sendiri, Cha,” gumamnya. Ia mengambil tas dan kunci mobilnya diatas bangku taman dan pergi pulang.


*****************************


Acha membanting tubuhnya di kasur. Matanya bengkak, wajahnya sembab. Ia menyesali kenyataan yang seringkali bertolak belakang dengan harapan. Ia mulai meyakinkan dirinya sendiri. Bahwa inilah yang terbaik. Demi orang yang disayanginya.

Acha menatap fotonya dan Ray yang berangkulan. Foto setelah mereka lulus SMP beberapa tahun lalu. Foto itu berdampingan dengan foto mas Ozy, mama, dan papanya. Acha mengambil foto itu, kemudian mengelusnya. Akhirnya ia memutuskan foto itu ia simpan didalam laci.

“Andai lo tahu, kalo yang gue rasain sekarang sama dengan apa yang lo rasain.”
Acha merebahkan diri kekasur dan bergumam, “Sorry ,Ray. Demi persahabatan kita. Gue ngga mau mengulang kesalahan yang sama kayak dulu. Gue udah cukup sekali kehilangan orang yang gue sayang, dan sekarang gue takut kehilangan lo. Untuk itu, gue harus berkorban. Maaf!” Acha membiarkan air mata mengalir dari sudut matanya. Jatuh sebagai emosi yang telah lama ditahannya. Setelah ia merasa capek, Acha terlelap dengan sendirinya.


*****************************


“Assalamu’alaikum.” Sore itu, ketika Acha tengah terlelap, ia datang kerumah Acha.

“Wa’alaikumsalam.” Seseorang yang masih memutar anak kunci menjawab dari dalam. “Eh, Ray. Nyari Acha yaa? Achanya tidur tuh”

“Acha tidur yaa, Mas? Masuk boleh dong? Nungguin sampai Acha bangun,” jawab Ray.

“Oh, masuk aja. Mas balik ke kamar dulu yaa. Lagi ngerjain proposal senat.”

“Makasih, Mas Ozy.” Ray melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah yang berdesain modern minimalis itu. Terlihat sangant sepi.

Ray duduk di ruang tamu sembari memikirkan apa yang terjadi tadi siang. Tiba-tiba Ray teringat buku hardcover dibawah lemari yang terletak didapur. Ia beranjak ke dapur Acha dan mencari buku itu.

“Nah, ini dia. Masih ada ternyata!” Ray mengambil buku itu dan mengamati covernya. Nama Acha tertulis di sudut kanan covernya. Ray membawa buku itu ke ruang tamu dan memasukkannya ke ranselnya. Ia memutuskan untuk tidak memberitahu Acha tentang penemuannya itu. Ia beranjak ke atas untuk membangunkan Acha.

“Cha, Acha. Bangun, Cha. Aku mau ngomong ama kamu.” Ray mengguncang badan Acha pelan. “Cha, bangun dong. Gue mau minta maaf.” Mata Acha masih terpejam.

Ray mendekat ke wajah Acha, membisikkan sesuatu ditelinga Acha. “Cha, apapun pendapat lo, gue tetep cinta ama lo. Gue ngga menyerah, tapi gue bakalan ngalah untuk sementara sampai lo bisa nerima gue. I love you, Cha. Sorry untuk yang tadi.”

Ray menghembuskan napas pelan, lalu keluar dari kamar Acha.

“Eh, mas Ozy. Ray pulang yaa. Assalamu’alaikum,” kata Ray ketika bertemu Ozy di ruang tamu. Ozy hanya mengangguk sambil menjawab salamnya pelan.

~

“Ray!” Acha bangun sambil celingak-celinguk dikamarnya. “Ternyata tadi hanya mimpi,” desah Acha kecewa. Ia melirik ke arah jam bekernya, menunjukkan pukul 5 sore. Ia bergegas masuk ke kamar mandi dan mandi.

“Cha, tadi Ray kesini. Tapi kamunya malah tidur.” Ozy memberitahukan kedatangan Ray pada Acha saat makan malam.

“Hah? Beneran, mas? Kok aku ngga dibangunin sih?” keluh Acha.

“Buat apa mas ngebangunin kamu? Kamu dibangunin kan ngga ada gunanya, paling juga ngga bakalan bangun,” ledek Ozy. Acha cemberut dan memanyunkan bibirnya. Ozy semakin semangat untuk melancarkan ledekannya.

“Kamu tuh udah jelek. Kalau dimanyunin gitu bibirnya tambah jelek tau!” Ozy tambah membesarkan tawanya ketika Acha tambah memanyunkan bibirnya.

“Loh, berarti mas-nya Acha juga sama jeleknya dong sama Acha!” Acha setengah berteriak dan mengembangkan senyumnya. Ozy mengerutkan keningnya.

“Lho? Apa hubungannya? Jelek itu sendiri aja, masa ngajak mas sih,” jawab Ozy.

“Mas Ozy kan mas-nya Acha, ada hubungan darah sama Acha, lahirnya lebih dahulu daripada Acha. Berarti mas lebih duluan jeleknya!” teriak Acha senang sambil meleletkan lidahnya. Ozy tertawa sambil mengacak-acak poni adik tercintanya itu.

“Hahaha. Kamu itu ada-ada ajadeh. Yasudahlah. Mas ke kamar dulu yaa. Mau nyelesaikan proposal senat. Bye my little fairy,” kata Ozy sambil bangkit dari tempat duduknya. Ozy menapaki anak tangga ketika Acha memanggilnya.

“Mas,” kata Acha. Ozy berhenti atas panggilan adiknya. Sementara tawa yang tadi tercipta tergantikan dengan sendu. “Mas nggak pernah punya waktu buat Acha.” Mata Acha berkaca-kaca.

“Mas selalu mentingin urusan kuliah mas. Mas nggak pernah mikirin Acha. Mas nggak sayang sama Acha. Sementara bunda sama ayah ngga pernah mentingin kita. Selalu kerjaan-kerjaan melulu. Mas tega juga ya, ikutin jejak bunda dan ayah untuk mengabaikan Acha!” Air mata Acha berjatuhan. Wajahnya memerah. Segala sakit hatinya selama ini dikeluarkannya. Sekarang, napasnya memburu. Sementara, Ozy terus memandangi adiknya. Tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.

“Cha, mas …”

“Mas ngga pernah sayang sama Acha. Mas Cuma peduli sama kuliahnya mas! Mas ngga pernah peduliin Acha! Mas ngga pernah nganggap Acha adik mas!!!” teriak Acha. Segala kesepiannya selama ini terbayarkan. Hati Acha tak karuan. Antara lega, sedih, marah, kecewa.

“Mas, jangan sapa Acha lagi. Acha benci sama mas!!!” Acha berlari menaiki tangga, masuk ke kamarnya. Ia membanting pintu kamarnya, menghempaskan tubuh ke kasurnya.

Ozy tersadar dari lamunannya, tapi belum dapat mencerna apa saja yang baru terjadi. Itu tadi beneran Acha. Ozy mulai berpikir Acha kerasukan sadako karena hari sudah malam. “What’s next? Aku yang menjadi headline berita karena ditemukan mati di kolam renang dengan memakai tanktop?” batin Ozy. Tapi dirinya sadar bahwa ini bukanlah bahan lelucon yang asyik. Ia mulai melangkahkan kaki menuju kamar Acha.

~~~



Gimana? gimana? jelek yaa? yaa, maklum, amatiran gitu. what's next part? i hope you're waiting me :)




I do thanks a lot for whom read my story, for whom inspired me, motivate me :)




Warmest, Nurul :)

Senin, 14 Maret 2011

mohon maaf :(

maaf yang sebesar-besarnya yaa, atas keterlambatan lanjutan cerita. gue sibuk abis (mampus, sok gahoel) kelas IX ini. maaf sekali lagi untuk pembaca -kalau ada-

Sabtu, 05 Februari 2011

Rindukanmu, sahabatku :)

Aku menutup buku yang baru saja kubaca dan mengembalikannya ke-rak buku di sudut kamarku. Rak itu berjumlah empat tingkat. Tingkat pertama untuk buku tulis, yang kedua untuk buku paket sekolah, yang ketiga untuk novel, dan yang keempat untuk dongeng dan legenda.

Yang baru saja kuletakkan tadi adalah buku legenda Riau. Aku suka membacanya, apalagi cerita ‘Putri Tujuh’. Itu yang jadi favoritku sekarang. ‘Putri Tujuh’ bercerita tentang peperangan antara Ratu Cik Sima dan Pangeran Empang Kuala yang disebabkan oleh penolakan lamaran Pangeran Empang Kuala kepada anak bungsu Ratu Cik Sima. Tapi, ternyata peperangan itu adalah sia-sia, karena pada akhirnya Ratu Cik Sima hancur karena kehilangan ketujuh putrinya yang disembunyikannya di goa.

Hobiku memang membaca, tapi aku bukan pengingat yang handal. Contohnya, aku tak bisa mengingat banyak untuk pelajaran sejarah, tapi aku suka membaca buku sejarah. Jadi, jangan heran kalau nilai sejarah dan hapalan lainnya di raporku hanya pas-pasan.

“Cha, Echa.” Bunda memanggilku sambil mengetuk pintu kamarku.

“Iya, bun. Masuk aja. Kamarnya engga Echa kunci kok,” jawabku. Bunda masuk ke kamarku sambil membawa satu stel baju seragam sekolah.

“Nih Cha, baju sekolah kamu untuk besok. Bunda masukin lemari ya,” kata Bunda sambil membuka pintu lemariku.

“Iiih, bunda. Pake digosokin segala. Echa kan bisa sendiri bun,” kataku. Bunda tersenyum.

“Engga apa kali, Cha. Besok kan hari pertama kamu disekolah baru,” jawab bunda. Aku tersenyum kepada bunda.

“Makasih, bun,” kataku tulus. Bunda lagi-lagi tersenyum. Senyum yang dari dulu tidak pernah dapat kulupakan.

“Yaudah. Echa tidur gih, supaya besok nggak telat. Nite dear,” kata bunda sambil mengecup keningku. Kemudian pergi keluar kamar.

“Nite mom,” jawabku sambil beranjak untuk mematikan lampu dan menutup pintu kamar. Lalu aku menarik selimut dan bersiap masuk kealam mimpi yang indah.\

* * * * *

“Cha, Echa. Kakak masuk yaa,” kata kak Galih sambil masuk seenaknya ke kamarku.

“Iih, kakak. Kalau masuk ijin dulu napa,” kataku kesal.

“Eh, kakak kan udah ijin. Cha, kakak pinjam sisir yaa. Dimana?” kata kak Galih.

“Di laci tuh. Cepetan yaa. Ntar abis make simpen lagi. Terus tutup pintunya. Echa mau sarapan dulu,” kataku sambil keluar kamar.

“Hmmmm. Harum. Nasi goreng nih,” kataku.

“Echa, ayo sarapan. Bunda bikin nasi goreng kesukaan kamu nih, Cha,” kata bunda. Aku mempercepat langkahku untuk menuruni anak tangga.

“Waah, nasi goreng,” kataku sambil menarik kursi meja makan. Aku duduk dan menyendoki nasi goreng yang lezat itu ke piring yang ada dihadapannya.

‘Duk, plak, duk’ Bunda, ayah, bahkan akupun tak ketinggalan menoleh ke asal suara. Ternyata kak Galih jatuh dari tangga. Aku hampir keselek dibuatnya.

“Aduuh, Galih, Galih. Makanya, hati-hati dong,” kata bunda sambil membantu kak Galih untuk berdiri. Kak Galih hanya meringis kesakitan.

“Ah, kak Galih kan cowok. Lagian gak ada yang luka kok. Tuh kak, makanya hati-hati,” kataku sambil tertawa kecil. Kak Galih hanya menatapku dengan pandangan kesal.

“Ayo Cha, Galih, kita berangkat,” kata ayah.

“Ayo yah,” kataku sambil menyandang tasku, sementara kak Galih sedang mengikat tali sepatunya.

“Pergi ya, bun. Assalamu’alaikum,” pamitku sambil menyalami tangan bunda, lalu masuk kemobil menyusul kak Galih dan ayah.

* * * * *

“Nama saya Vanessa Alena. Kalian bisa memanggil saya Echa. Saya murid pindahan dari Bandung. Saya harap kita bisa berteman, terima kasih.” Aku mengawali sekolahku dengan memperkenalkan diri dikelasku yaitu delapan tiga.

“Baiklah. Cha, kamu duduk disebelah Tiara ya,” kata bu Fella sambil menunjuk satu bangku yang masih kosong dibarisan depan. Aku nurut dan duduk dibangku yang dimaksud bu Fella.

“Hai. Aku Echa,” kataku sambil menyodorkan tanganku.

“Tiara,” katanya menyebutkan namanya dan tersenyum. Aku membalas senyumnya, lalu mengalihkan pandanganku kedepan kelas, memperhatikan bu Fella yang kebetulan masuk di jam pertama.

‘Teng…Teng…Teng…’ Waktu istirahatpun tiba. Dikelas, hanya ada aku dan Tiara. Sedangkan yang lain pergi ke kantin.

“Ra, kamu nggak ke kantin?” tanyaku.

“Nggak. Aku udah bawa bekal. Ohya, selamat datang di SMPN 02 Dumai ya, Cha. Khususnya, selamat datang dikelas delapan tiga,” katanya sambil tersenyum. Aku tertegun sebentar. Senyumnya mirip dengan senyum bunda.

“Oh, makasih,” kataku sedikit canggung. Dia mengeluarkan kotak bekal dari tasnya. Aku mengintip isinya. Wah, ada roti isi.

“Cha, mau?” tanya Tiara. Sepertinya ia memperhatikanku sedang mengintip kotak bekalnya. Aku jadi malu sendiri.

“Makasih, Ra.” Aku mencomot satu potong roti isinya. “Buat sendiri, Ra?”

“Iya. Kenapa? Nggak enak ya?” katanya sambil menaikkan kacamatanya. Wajahnya tampak bersalah.

“Nggak kok. Enak malahan. Beneran deh. Swear,” kataku sambil membentuk jariku menjadi huruf V. Dia tersenyum padaku.

“Kapan-kapan aku bawa dua kotak deh. Untuk kamu satu,” katanya. Aku hanya tersenyum. Setelah rotiku dan rotinya habis, kami ngobrol bareng tentang banyak hal untuki menghabiskan waktu istirahat.

* * * * *

“Cha, udah belom? Ayo dong. Ntar telat nih,” teriak kak Galih dari luar. Hari ini hari Sabtu, hari keenam aku disekolah baruku. Selama itu juga aku jadi semakin dekat dengan Tiara. Mulai hari ini juga aku akan berangkat bareng kak Galih.

“Bun, Echa pergi yaa. Assalamu’alaikum,” kataku terburu-buru. Lantas secepat mungkin aku memakai helm dan naik ke motor kak Galih. Kak Galih langsung melesat ke sekolahku.

“Pagi, Ra,” sapaku. Aku dan dia memang biasa datang pagi.

“Pagi, Cha,” balasnya. “Ohya, kamu mau masuk ekskul apa, Cha?”

“Gatau nih. Kayaknya mading deh,” jawabku.

“Kamu suka nulis?” tanya Tiara.

“Iya. Suka banget. Kamu ekskul apa, Ra?” Aku balik bertanya.

“Aku mading. Ketuanya,” katanya bangga. “Kamu diterima.”

“Waaah, makasih yaa Ra. Aah, kamu baik deh,” kataku sambil memeluknya senang. Ia hanya tersenyum. “Eh, Ra. Aku pulang kerumah kamu boleh nggak? Aku udah ijin ama bunda kok, Ra?”

“Silahkan. Aku senang kamu mau main,” katanya.

“Tiara, ini semua anggota mading?” tanyaku ketika Tiara mengajakku ke ruangan mading pada jam ekstrakurikuler.

“Iya. Cuma 10 orang. Tambah kamu dan aku jadi 12. Nggak perlu banyak-banyak kan, untuk mading?” katanya. Lalu Tiara memperkenalkanku kepada anggota yang lainnya. Dan kami memulai rapat kerja untuk mading minggu depan.

“Baiklah, tema kali ini adalah budaya Riau. Bagaimana? Ada ide?” tanya Tiara.

“Legenda ‘Putri Tujuh’ bisa nggak?” tanyaku.

“Good idea. Kamu yang ngetik ya Cha. Yang lain?” tanya Tiara. Mereka satu per satu mengeluarkan ide yang rata-rata bagus semua.

“Baiklah. Kita kumpul lagi besok disini. Ohya Cha, kita tiap hari Minggu emang sering ngumpul. Kamu nggak keberatan kan?” tanya Tiara. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Oke. Rapat hari ini selesai. Kalian boleh istirahat.” Tiara menutup rapat hari ini. Anggota mading berhamburan keluar meninggalkan aku dan Tiara di kantor mading.

“Ra, aku mau ngomong,” kataku. “Anak-anak kenapa jauhin kamu ya?” tanyaku hati-hati karena takut menyinggung perasaannya.

“Cha, menurut kamu karena apa? Aku aja nggak merasa dijauhin kok,” katanya kalem.

“Karena penampilan,” kataku ragu. Ditambah takut membuat Tiara sakit hati.

“Kata mereka aku aneh. Soalnya aku masih suka legenda dan dongeng,” kata Tiara.

“Tapi, aku nggak merasa dijauhin kok, Cha. Lagian kalo emang iya, wajarlah. Penampilan kayak aku nggak pantes sama mereka yang fashionable,” kata Tiara lagi. Aku kaget.

“Wah, kita sama, Ra. Aku juga suka legenda dan dongeng. Waah, kita samaan nih,” kataku senang, tanpa memperdulikan kata-kata Tiara yang mengatakan bahwa itulah yang membuatnya dijauhi.

“Tapi kamu fashionable lagi, Cha. Ngikutin mode,” kata Tiara. Aku heran. Dia seperti tertekan, tapi wajahnya nggak tampak ada beban gitu

“Kamu kayak dijauhin ama temen-temen, tapi tetep bisa senyum ya Ra. Wajah kamu tanpa beban banget lagi. Salut deh, Ra.” Aku tidak bohong. Aku memang kagum sama Tiara.

“Aduh, Cha. Hidup itu bukan untuk dijadiin beban kali, Cha. Jalanin aja apa yang ada. Berusaha untuk lebih baik. Bukan buang-buang waktu untuk Cuma jadiin hidup beban,” kata Tiara. Yaampun, dia mengajarkanku banyak hal, sebanyak yang aku dapatkan dalam legenda.

“Eh, kak Andin udah jemput tuh. Barusan dia SMS. Kamu jadi ikut kan?” kata Tiara. Aku mengangguk sambil menyandang tasku dan melangkah keluar mengikuti Tiara.

* * * * *

“Selamat datang, Cha,” kata Tiara sesampainya kami di rumahnya. Ternyata rumah Tiara itu besar.

“Ayo, Cha. Kita kekamar aku aja langsung. Ayo, Cha,” kata Tiara. Aku mengikuti Tiara dari belakang.

Aku takjub melihat kamar Tiara yang bernuansa hijau. Ada rak buku juga, besar. Banyak banget bukunya.

“Napa Cha? Lain kali kalau mau minjem buku nggak apa kok,” kata Tiara. Dia memergokiku sedang mengagumi kumpulan bukunya. Aku hanya cengengesan.

“Cha, aku ganti baju dulu yaa,” kata Tiara sambil masuk ke kamar mandi. Sepuluh menit kemudian Tiara keluar mengenakan celana tiga per empat dan kaos.

‘Ting’ Lampu bohlam diatas kepalaku menyala, menandakan aku ada ide.

“Ra, duduk deh,” kataku sambil menarik kursi didepan kaca riasnya. Tiara tampak bingung, tapi tetep nurut. Aku me-make over Tiara. Aku menata rambutnya, mengganti kacamata bulatnya dengan yang lebih modis, dan segalanya. Wajahnya kelihatan lebih manis setelah ku make over.

“Tadaaaa. Cantik kan?” kataku memuji hasil kerjaku sendiri. Tiara hanya manggut-manggut sambil senyum-senyum.

“Yaampun, Cha. Kamu nggak perlu gitu banget lagi,” kata Tiara.

“Nggak apa ah. Sebagai orang yang merasa senasib dan sepenanggungan, aku merasa
bertanggung jawab,” kataku sambil menepuk-nepuk dada sendiri. Tiara merangkul pundakku sambil berbisik, “Makasih, Cha.”

“Non, minum obat dulu.” Terdengar suara pembantunya Tiara berbarengan dengan suara ketukan pintu. Eh, obat? Tiara sakit? Sakit apa?

“Iya, bik, bentar,” jawab Tiara. “Aku keluar bentar yaa.”

Terdengar perdebatan antara bibik dan Tiara, tapi aku tidak menangkap jelas apa yang mereka perdebatkan.

“Kamu sakit, Ra? Kok nggak bilang,” tanyaku ketika dia masuk kembali.

“Eh, anu, itu, aku sakit batuk. Jadi harus minum obat gitu deh,” kata Tiara sedikit gugup. Tetapi aku tahu, ada sesuatu yang disembunyikan Tiara dariku. Pancaran matanya terlihat lain. “Trust me,” sambungnya sambil meyakinkanku. Baiklah. Kalau dia tidak mau bercerita apapun, aku yang akan mencari tahunya sendiri.

“Eh, Ra. Aku pamit yaa. Kak Galih udah didepan, nungguin,” kataku setelah kami puas ngobrol.

“Aku antarin sampe depan yaa,” kata Tiara. Aku dan Tiara berdampingan menuju keluar.

“Eh, ada kak Andin. Pulang yaa kak, assalamu’alaikum kak, Ra,” pamitku. Mereka menjawab salamku dan kak Galih pun menjalankan motornya.

* * * * *

Tidak terasa sekarang sudah memasuki bulan ke-empat semester dua. Guru-guru dan anggota OSIS sibuk mengurus perpisahan kelas Sembilan. Kami, tim mading juga sibuk mengurus peralatan untuk meliput acara perpisahan. Ditengah kesibukan mading, kami juga sibuk mempersiapkan diri untuk tampil pada acara pembukaan. Kami menjadi penari dan menarikan tarian persembahan Riau.

Persahabatanku dan Tiara juga bertambah baik. Ditambah dengan jadiannya kak Andini dan kak Galih. Aku dan Tiara ternyata banyak persamaan, mulai dari legenda yang kami sukai, makanan, minuman, artis. Tapi, kami juga sering berdebat karena perbedaan alasan mengapa kami menyukai sesuatu.

Kami sempat bertengkar lumayan hebat. Karena Tiara menyembunyikan sesuatu yang penting bagiku. Tapi, kemudian aku meminta maaf dan menyadari bahwa seharusnya disaat itulah aku harus berada disampingnya, untuk membuatnya tegar. Aku akhirnya mengetahui bahwa …. Ah, sudahlah. Aku tak kuasa mengingatnya.

“Ra, kamu udah siap?” tanya Kikan, salah seorang teman kami. Mereka kemudian mau berteman dengan kami setelah aku mengubah penampilan Tiara.

“Udah. Ayo pergi,” kata Tiara. Aku ikut serta dibelakangnya. Kami diantar kembali kesekolah oleh Kikan.

“Ra, kamu kelihatan pucat. Kambuh ya?” tanyaku saat kami ada di backstage.

“Nggak kok, aku nggak apa-apa,” jawab Tiara.

Tiba saatnya kami tampil. Aku rada-rada nervous, tapi berhasil kuhilangkan dengan bantuan Tiara. Tapi setelah tampil, Tiara pingsan. Ia dibawa ke rumah sakit. Aku sangat cemas. Jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Aku takut sesuatu terjadi pada Tiara.

“Adakah yang bernama Echa disini?” tanya dokter sewaktu baru keluar dari ruang periksa.

“Saya, dok,” kataku sambil mengancungkan tanganku.

“Mari masuk. Ada yang ingin saya bicarakan,” kata dokter muda itu. Aku nurut dan masuk. Ternyata Tiara sudah sadar dan dia berpesan padaku kalau aku harus merahasiakan semuanya dari teman-teman. Keluar dari ruang periksa, aku hanya berkata bahwa Tiara hanya kecapekan.

Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa kini sudah memasuki waktu liburan. Kami, kelas delapan tiga melakukan tour de’Dumai selama 1 hari. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah danau buatan, lalu berenang di simanalagi, kemudian kami pergi ke makam ‘Putri Tujuh’. Akhirnya, impianku dan Tiara kesampaian. Ke ‘Putri Tujuh’ adalah pengalaman mengesankan. Tapi, tanpa kuduga hari itu juga menjadi hari yang menyedihkan juga.

“Cha, akhirnya kita bisa ke ‘Putri Tujuh’ yaa. Waah,” kata Tiara.

“Iyanih, Ra. Eh, by the way, kamu kok pucat? Kamu sa … Ra… Kamu mimisan. Tiara! Ra! Tiara!” Aku mulai panik. Tiara langsung jatuh dan pingsan.
Semenjak hari itu, Tiara koma dan dirawat di rumah sakit. Aku memutuskan menemani Tiara dirumah sakit karena masih liburan. Dengan rajin aku membacakannya Qur’an dan cerita yang aku dan dia sangat gemari, ‘Putri Tujuh’.

Aku galau. Aku takut. Aku teringat kata dokter dua bulan yang lalu.
“Dek, kamu adalah salah satu yang membuat Tiara bertahan selama ini dan mematahkan vonisnya. Tapi, sekarang, harapan hidupnya mungkin hanya kurang dari dua bulan. Saya minta tolong, tolong bahagiakan dia.”

Tidak. Dokter itu bukan tuhan. Dia bukan yang mencabut nyawa manusia kan? Aku tak boleh percaya begitu saja. ‘Tiara, kamu harus bertahan. Demi aku, kak Andin, kak Galih, mama dan papa kamu, semua orang yang sayang kamu,’ batinku.

Tanpa kusadari, titik-titik bening yang sejak tadi kutahan jatuh begitu saja. Langsung kuusap air mata yang tumpah. Aku selalu ingat kamu selalu melarangku untuk menangis. Aku akan senyum, Ra. Kalau itu yang membuat kamu bertahan. Ya Allah, berilah mukjizat-Mu.

Jawaban atas do’aku pun turun seminggu setelah hari pertama Tiara koma. Jari jemari Tiara mulai bergerak. Aku memencet bel diatas tempat tidur Tiara.

“Ra, ini aku. Ra, kamu harus bertahan,” kataku sambil menangis. Tiara mengusap air mataku. Aku beranjak membangunkan mama dan papa Tiara yang tertidur disofa. Aku juga menelpon kak Galih dan kak Andin. Aku tahu ini terlalu larut untuk memberitahu. Tapi ini harus. Dokter sudah datang dan memeriksa keadaan Tiara.

“Keadaannya membaik. Keluarga bisa menjenguk, tapi hanya sebentar. Tiara butuh istirahat banyak,” kata dokter. Setelah dokter keluar, aku duduk disamping ranjangnya.

“Ra, aku yakin kamu pasti bangun. Aku selalu bacain ‘Putri Tujuh’ looh,” kataku sambil memaksakan senyum.

“Eh, kak Andin, kak Galih,” sapa Tiara. Kak Andin tersenyum kepada adik kesayangannya itu.

“Cepet sembuh yaa, Ra,” kata kak Andin.

“Kak, kalau Tiara pergi, kakak jangan nangis lama-lama yaa. Kakak juga harus mewujudkan mimpi kakak untuk jadi psikolog. Waktu kakak masih panjang. Kak Galih, kalau Tiara pergi, jagain kak Andin ya. Jangan sakiti hatinya. Kalau sampai, aku bakalan gentayangan ntar,” kata Tiara mencoba bercanda.

“Tiara, jangan ngomong gitu dong. Waktu kamu juga masih lama kok,” kata kak Andin. Mutiara bening mulai jatuh dari matanya, semetara kak Galih mencoba menenangkan kak Andin.

“Nggak kak, waktu Tiara udah mau habis. Ma, Pa, yang akur yaa, kalau Tiara pergi. Jagain kak Andin baik-baik. Kalian harus saling jaga yaa. Maafin semua kesalahan Tiara selama ini. Cha …” Tiara memutuskan kalimatnya dan menatapku.

“Makasih. Makasih untuk warna yang kamu lukiskan di hidup aku. Makasih untuk pelajaran yang udah kamu kasih ke aku. Makasih udah ngasih temen yang banyak buat aku. Makasih Cha. Makasih. Untuk semuanya yang pernah kamu berikan ke hidup aku. Maafin semua kesalahan aku, juga titip maaf ke temen-temen yaa,” kata Tiara dengan tetap tersenyum. Ya Allah, bahkan disaat seperti inipun dia masih sanggup tersenyum.

“Ra, gak ada yang perlu dimaafin. Karena nggak ada yang salah. Ra, bertahan, demi aku. Kita bisa ke ‘Putri Tujuh’ lahi kan. Kamu baru sebentar kemarin. Terus kit abaca bareng lagi, Ra.Aku juga makasih, Ra. Makasih, untuk semua yang telah kamu lakukan, untuk perjuangan kamu, untuk kisah yang kamu torehkan dihidup aku. Makasih, Ra…” aku memutuskan kalimatku untuk mengusap air mataku, dan mencoba ikhlas.

“Ra, kalau memang kamu nggak kuat, pergi Ra. Pergi ke tempat dimana tak ka nada lagi rasa sakit, kebencian, amarah. Hanya kedamaian Ra. Aku menyusul jika sudah waktunya,” kataku merelakan Tiara.

“Ra, pergilah nak. Kami sudah mengikhlaskanmu, Ra. Pergilah nak, tinggalkan rasa sakitmu,” kata mama dan papa Tiara sambil menangis.

“Ra, pergi dek. Kalau memang itu membuat kamu tidak merasakan sakit lagi,” kata kak Andin.

Aku mendekatkan diri kepada Tiara, dan membisikkan “La ila haillallah,” berulang kali. Sampai akhirnya Tiara benar-benar pergi.

Ketika cahaya itu redup, Kau tambahkan energy padanya.
Ketika penopang itu rapuh, Kau bantu untuk menahannya.
Sahabat,
Kau selalu disampingku
Ajarkan ku berbagai hal
Sampai akhirnya kau harus pergi
Pergilah, ketempat dimana rasa sakit itu tak ada
Dimana hanya ada kedamaian
Pergilah, dan jadilah salah satu bintang dilangit
Satu yang tak kan pernah hilang,
Ku selalu rindukanmu, sahabatku

~SELESAI~

Selasa, 05 Oktober 2010

Love is Melody #4

PART 4 : WAJAR DONG?

“LO KALO JA…..lan liat liat. Eh,…” Nova langsung membungkam mulutnya ketika melihat siapa orang yang menabraknya, “Eh, maap kak,” kata Nova sambil jongkok untuk mengambil barang-barangnya yang jatuh.

“Oh, engga apa. Kakak minta maap, soalnya tadi buru-buru,” kata cowok itu. Ia ikutan berjongkok untuk membantu Nova mengutip barang-barangnya yang jatuh tadi. Saat mengambil bando Nova yang terjatuh, tak sengaja tangan mereka bersentuhan.

“Ma…maaf,” kata cowok itu gugup. Mengangkat tangannya kemudian berdiri. Nova hanya cengengesan, kemudian berdiri lagi. Tapi …… ‘BRUUUK’. Semua barang-barang yang dipegang Nova jatuh berantakan lagi, lengkap, dirinya juga jatuh, termasuk kakak cowok tadi.

“Eh, maaf,hehe,” kata Acha sambil tertawa kecil. Ia membantu Nova membereskan barang-barangnya. “Eh, ada kak Patton.”

“Lo kenapa sih, lari-lari segala? Jatuh lagi kan!” keluh Nova.


“Hhe. Ya sorry nop. Gue kan takut dihukum pak Joe. Hah? PAK JOE. NOP, PAK JOE NOP!” teriak Acha histeris.

“Heh? Gue engga budek yaa. Engga perlu teriak juga kale. Pak Joe? Olahraga? Kenapa? PAK JOE? OLAHRAGA?” kali ini gentian Nova yang teriak histeris setelah kemudian sadar mereka ada pelajaran olahraga. Nova langsung menarik Acha menuju ke kelas untuk meletak barang-barang mereka sambil berkata,” DULUAN YA KAK PATTON.” Patton hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah adik kelasnya.

************************************

“21…22…23…24…25… Udah. Berdiri. Lain kali jangan terlambat ya,” kata Pak Joe. Acha dan Nova langsung duduk sambil menyelonjorkan kaki mereka setelah scot jump (?) sebanyak 25 kali. Dengan napas yang tak beraturan.

“Elo sih, pake acara lama segala. Kan dihukum jadinya,” kata Nova menyalahkan Acha.

“Yee. Kan tadi gue udah suruh elo duluan, malah ngobrol ama kak Patton,” elak Acha.

“HEH! Kalian disuruh berdiri malah duduk sambil gossip. Mau dihukum lagi?” bentak pak Joe dengan sangar. Nova dan Acha tersentak kaget, langsung buru-buru berdiri.

“Hehe. Engga kok, pak. Tema hari ini apa, pak? Kasti yaa. Yuk gabung yuk, Cha, ama yang lain,” kata Nova sambil cengar-cengir. Ia langsung menarik tangan Acha untuk bergabung dengan anak-anak lain. Pak Joe hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah anak muridnya yang satu itu.

“Woooi!!! Kita gabung yaa!!!” teriak Nova ditengah lapangan.

“Yaudah. Gabung aja. Hompimpa ulang yook. Mainnya ulang aja lagi!” kata Oik.

“Hompimpah alaium gambreng, mak lampir pake baju rombeng.” Anak-anak bersemangat untuk memulai permainan lagi.

“Yeee, kelompok Ray kalah. Yang main kami!!!” teriak Obiet. Ray dan kelompoknya Segera menyebar ke segala arah untuk berjaga-jaga.

‘DUK’ Bola pertama yang dilemparkan kena. (Ngerti kan?). Obiet segera berlari ke tiang aman 1. Ray mencoba melempar Obiet dengan bola, tapi meleset dan Obiet keburu sudah memegang tiang aman 1.(Pengarang engga tau banyak tentang kasti. Maap yaa pembaca )

Giliran Nova menggebuk(?) bola. ‘DUK’, bola kena pemukul kasti dan terlempar jauh dan akhirnya mendarat di …… kepala Acha. Acha langsung terjatuh sambil memegangi kepalanya dan kemudian pingsan.

“Acha !!!!!!!” murid-murid berteriak histeris. Permainan terhenti. Semua mengerubingi Acha yang masih tak sadarkan diri. Nova menggoyang-goyangkan badan Acha. Ia terlalu panic. Bagaimana tidak, ia yang menggebuk bola tadi sehingga
‘mampir’ dikepala Acha. Pak Duta segera menggendong Acha menuju UKS. Yang lain disuruh istirahat karena bel sudah berbunyi.

Nova masih gelisah di bangku kantin. Bajunya sudah berganti menjadi baju seragam warna ijo lengkap dengan rompinya berpadu manis dengan rok ber-aksen kotak-kotak ijo.

“Nov, lu kenapa sih? Gelisah amat kayaknya. Gue engga tenang ni, duduk disamping lo karna kursinya goyang-goyang,” protes Ozy.

“Eh, kucrut! Gimana engga gelisah. Yang gebuk bola tadi gue woy, sampe-sampe Acha pingsan kayak gitu. Sadar engga sih lo!” bentak Nova sambil melotot kearah Ozy. Ozy hanya cengengesan sambil mengancungkan jarinya membentuk huruf V.

“Makanya jenguk dong. Gitu aja kok repot?” kata Ray dengan kalem. Ia duduk didepan Ozy dan meletakkan segelas jus pokat dan menyeruputnya sedikit.

“IDE BAGUS! GUE DELUAN YAA, RAY, ZY!” teriak Nova sambil bangkit dari tempat duduknya dan melambaikan tangannya. Lalu segera melesat kearah UKS. Ozy yang kaget masih mengelus dada, sedangkan Ray hanya geleng-geleng kepala.

“Edan banget,sih,” gerutu Ray. Ozy tertawa sampai sampai es jeruk yang masih ada dimulutnya muncrat. Ray terkena cipratannya, dimuka. “Zy, jangan jorok!” seru Ray sambil melap mukanya dengan tissue. Ozy hanya cengengesan.

‘Masa sih, persahabatan gue dengan Ozy harus putus hanya karena cewek? Acha? Engga ah. Persahabatan lebih berharga daripada cewek. Lagian, dari pancaran matanya, Ozy juga mengegumi Acha,’ batin Ray sambil sesekali menggeleng-gelengkan kepalanya untuk menepis rasa yang tumbuh dihatinya itu.

‘Kayaknya engga lucu deh, kalo persahabatn gue ama Ray yang selama ini kami jalin harus putus karna Acha? Lagian, dari cara pandang Ray, kayaknya dia suka ama Acha. Oh Ozy, relakan Acha demi Ray. OK!’ batin Ozy sambil menyeruput es jeruknya.

-SKIP SAMPE PULANG SEKOLAH-

‘TOK…TOK…’ Pintu diketuk oleh Ozy. “Assalamu’alaikum!” seru Ozy.

“Wa’alaikumsalam. Bentar yaaa!” seru orang yang ada didalam rumah itu. ‘Klek,’ kunci diputar oleh si tuan rumah. “Eh, Ozy. Masuk,” katanya –yang masih belum diketahui namanya-

“Kak, mau curhat,” kata Ozy singkat. Lalu masuk kedalam rumah mendahului si empunya rumah.

“Curhat aja. Eh, dikamar aja. Ada bang Aldo soalnya,” katanya lagi, “kakak ambilin minum sebentar yaa. Kamu naik aja duluan.”

‘Tuk.Tak.Tuk’ Bunyi hentakan kaki Ozy saat menaiki tangga. Ia menaiki tangga dengan langkah gontai. ‘Cklek’. Pintu kamar dibuka oleh Ozy. Ia duduk lesehan di karpet, lalu ia menopang dagunya di meja bundar di atas karpet itu. (kayaknya bahasa gue ribet amat. ckck)

5 menit.

10 menit.

15 menit.

Orang yang diajak curhat ama Ozy tadi engga kunjung datang. ‘Ada apa? Di bunuh wewegombel?’ batin Ozy. Baru ia hendak beranjak dari tempat ia duduk, pintu kamar dibuka oleh seseorang.

“Eh, sorry ya, Zy? Kelamaan nunggu yah? Tadi bang Aldo minta tambahan makanan ama minuman untuk temen temennya,” kata kakak yang belum diketahui namanya itu. Ia meletakkan nampan berisi setoples nastar dan dua gelas es jeruk.

“Pasti ada kak –SENSOR.maap- kan?” kata Ozy melihat muka kakak-yang-belum-diketahui-namanya-tersebut berseri-seri. Kakak itupun mengangguk sambil tersipu malu.

“Udah. Kamu mau curhat? Curhat aja. Mumpung aku masih baik?” kata kakak itu mengalihkan pembicaraan.

“Kak Nurul, jatuh cinta itu gimana sih, rasanya?” Tanya Ozy. Kakak yang ternyata namanya Nurul itu terdiam sejenak, lalu menyadari bahwa mimik muka Ozy hari ini agak beda. Sepertinya dia gelisah.

“Euuummm, gimana yah? Cinta itu sulit didefinisikan, Zy. Datangnya aja kita nggak tahu kapan. Mungkin, ketika kamu sayang sama seseorang, merasa nyaman didekat dia, terus kamu takut kehilangan dia. Sama kayak kalo kita cinta ama Allah. Kita pasti selalu merasa nyaman, terus sayang. Gitu deh. Tapi, kakak saranin, kalo kamu cinta ama lawan jenis, yaa, secukupnya aja. Ingat, Allah juga bisa cemburu, kalo kamu sayang ama dianya lebih dari sayang kamu ke Allah,” kata kak Nurul panjang lebar.

“Gitu ya, kak. Kalo suka gimana?” Tanya Ozy lebih lanjut, dengan mimik muka yang datar.

“Kalo suka, yaa, kamu debar-debar gitu kalo dekat dia. Terus, nyaman. Tapi,kamu suka itu bukan berarti kamu sayang. Contohnya, kalo kamu suka ama es krim, kamu makan kan. Kamu engga takut kalo kehilangan es krim. Kalo kamu sayang pasti kamu simpan terus. Yaa, bisa dibilang suka itu sama dengan fans lah,” jelas kak Nurul dengan (lagi-lagi) panjang lebar.

“Bisa ngga kak, kalo anak kelas 8 kayak aku ini jatuh cinta?” Tanya Ozy lagi. Kak Nurul terdiam. Ia menatap Ozy lekat-lekat. OK. Selain raut wajahnya yang beda kali ini, nada bicara dan semua pertanyaannya itupun juga aneh. Tanpa semua itupun, hanya dengan melihat mata Ozy saja kak Nurul sudah merasakan ada yang aneh pada Ozy.

“Bisa jadi iya. Tapi, bisa jadi aja cinta monyet. Karena, the really love hanya bisa dirasakan setelah kita bener-bener dewasa, dan kita mengerti arti cinta. Yaa, itu selain cinta ama Allah dengan orang tua atau keluarga kita yaa,” jelas kak Nurul. Ia tetap sabar menjawab pertanyaan Ozy, karena ia sudah menganggap Ozy itu adik kandungnya. Secara gitu, Nurul anak bungsu. (aslinya anak sulung. Tapi, yaa, karna pengen ngerasain jadi anak bungsu.hehe)

“Kak, wajar ngga, kalo aku ini bisa ngerasain the really love itu di usia yang segini, 13 tahun maksudku?” Tanya Ozy dengan wajah yang penasaran.

“Wajar dong. Karena, kamu itu kan, kalo aku bilang cukup dewasa untuk ngerasain itu,” jawab Nurul.

“Aku… kayaknya cinta ama seorang cewek, kak. Dia cantik, pinter, baik, pokoknya dia hamper sempurna deh kak. Tapi, bukan itu yang buat aku tertarik ama dia. Ada yang lain yang dia miliki tapi ngga dimiliki ama cewek lain. Tapiii…” Ozy menggantung kalimatnya. Wajahnya yang ceria ketika menceritakan tentang Acha kepada Nurul langsung musnah. Digantikan oleh awan mendung.

“Kawan aku, tepatnya sahabat aku, kayaknya tertarik juga ama dia. Gitu loh, kak? Aku jadi bingung. Nurutin perasaan aku dan menyakiti hati sahabat aku? Aku engga mau kehilangan sahabat. Tapi, aku tertarik ama dia, Acha namanya. Terus, gimana tuh, kak?” Ozy menceritakan masalahnya. Hatinya merasa sedikit plong.

“Just let it flow. Toh, sampe sekarang, dia belum milik siapa-siapa kan? Yaa, kalo bersaing secara sehat, wajar-wajar aja dong? Asal, persahabatan itu lebih dari cinta. Susah nyari sahabat sejati kayak Ray. Yaa, cukup segitulah saran kakak. Kalo keputusannya, yaa, kembali lagi ke kamunya,” kata Nurul, kemudian menyeruput es jeruknya. (Haus tauu!)



PART 4 jadii. ayoo lanjut. eh, ada yang ngeliat blog saya ngga sih? kalo ada, wall kee http://www.facebook.com/nurul.fadhilah.rahandi/ yaa :)